Masyarakat Indonesia satu lagi dikejutkan oleh meninggalnya seorang bocah yang ditenggarai akibat dismackdown oleh temannya. Tak pelak lagi masyarakat kita langsung berang dengan keberadaan acara smackdown yang nyaris setiap malam ditayangkan oleh salah satu televisi swasta. Banyak kalangan menuntut tayangan yang berasal dari Paman Sam itu dicekal dan ditiadakan. Melihat begitu besar reaksi masyrakat akibat dari acara yang secara vulgar menontonkan adegan kekerasan tersebut (atau karena sudah jatuh korban) KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) langsung mencabut hak penyiaran atas tayangan smackdown tersebut.
Televisi, lagi-lagi menjadi sorotan khalayak, setelah berhasil mencuri perhatian para pemirsanya serta menyadarkan para orang tua bahwa tidak semua acara-acara televisi itu baik untuk ditonton khususnya oleh anak-anak. Keputusan KPI mencekal hak siar acara smackdown yang diproduksi oleh WWE (World Wrestling Entertaintment) itu banyak menuai apresiasi atas ketanggapannya mencabut hak siar acara tersebut. Akan tetapi apakah pencekalan terhadap acara tersebut serta merta akan menghilangkan atau paling tidak mengurangi tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak akibat dari pengaruh tayangan tersebut?
Sekiranya sudah waktunya kita lebih arif memilah-memilah acara-acara yang pantas untuk ditayangkan dan dikonsumsi khususnya oleh anak-anak. Tayangan-tayangan yang menghadirkan adegan kekerasan sebenarnya sudah sangat jamak terlihat pada televisi-televisi kita bahkan jauh sebelum acara smackdown ditayangkan. Sinetron-sinetron, bahakan yang berbau religius sekalipun, terkadang sangat kontras menampakkan adegan kekerasan. Bukan tidak bisa stasiun-stasiun telivisi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sepeti kasus tewasnya seorang bocah akibat ulah teman sebayanya yang meniru salah satu adegan kekerasan di televisi, tetapi lebih pada niatan untuk membangun generasi cinta damai tanpa terlalu terpaku pada sisi ekonomis dari tayangan yang disajikannya.
Dengan indikasi seperti itu, stasiun-stasiun televisi seharusnya lebih bijak menayangkan acara-acaranya. Akan tetapi, tidak adil kiranya jika kita hanya terlampau menyalahkan pada televisi yang menyiarkan acara-acara semacam itu. Sebaliknya, menjadi sebuah otokritik bagi orang tua agar lebih memperhatikan anak-anaknya khususnya dalam mendampingi mereka ketika menonton televisi. Karena seperti yang kita ketahui anak-anak sangat cepat menghafal serta meniru apa yang mereka lihat di televisi. Dengan pendampingan yang dilakukan orang tua akan dapat memfilter tayangan-tayangan yang disajikan, dengan menjelaskan tentang apa yang mereka tonton. Jadi, kebijakan orang tua sangat dibutuhkan dalam hal ini, tanpa harus mengekang kebebasan anak. Di satu sisi para penglola televisi menyajikan tayangan-tayangan yang bermutu dan mendidik, di sisi lain para orang tua selalu membimbing anak-anak ketika menonton televisi. Maka, akan terbangun sebuah hubungan mutualisme antara pengelola televisi dengan para pemirsanya tanpa harus acuh atas kepentingan masing-masing pihak.
Akhirnya, ini semua kembali pada diri kita masing-masing khususnya bagi para pengelola televisi sekaligus orang tua. Sudahkah kita memang berada dalam situasi ketidakpedulian atas perkembangan anak-anak kita sehingga dengan sendirinya terbangun generasi cinta kekerasan yang sangat tidak kita harapkan, atau sebaliknya, terbangunnya kesadaran akan kepedulian kita terhadap anak-anak kita sebagai generasi penerus perjuangan bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar