Ketika Negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, maka eksesnya adalah rakyat berburu lapangan kerja ke negeri seberang. Itulah hal yang dilakukan oleh para tenaga kerja Indonesia khususnya tenaga kerja wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ditengah himpitan ekonomi dan membludaknya kebutuhan hidup, para buruh migran ini berbondong-bondong mencari nafkah di negeri orang. Namun, dengan tingkat pendidikan yang rendah serta minimya pelatihan ketenagakerjaan yang didapat oleh para buruh migran ini, menjadikan mereka hanya dapat mengisi ruang-ruang yang tidak begitu mengandalkan pendidikan, seperti pembantu rumah tangga dan buruh kasar. Belum lagi banyaknya perusahaan penyalur tenaga kerja yang bak jamur di musim kemarau, serta lemahnya aturan hukum yang mengatur masalah ketenagakerjaan, menjadikan kontrol pemerintah tidak maksimal. Jika ada penyelewengan yang dilakukan oleh para agen dari perusahaan penyalur, otomatis akan sulit terdeteksi oleh penegak hukum. Ditambah banyaknya perusahaan penyalur tenaga kerja yang statusnya ilegal, membuahkan saluran-saluran penyelewengan dan penyalahan prosedur pengriman tenaga kerja semakin meluas dan sulit teratasi.
Itu baru beberapa masalah di tanah air yang dihadapi dalam belantara masalah buruh migran. Di negara tujuan, yaitu ketika mereka menginjakkan kaki mereka di negeri orang sampai proses penempatan ditambah lagi ketika mereka telah masuk dalam rumah majikan alias kerja menjadi pembantu rumah tangga, mereka harus beradaptasi dengan keluarga bahkan sampai suasana kehidupan di negara tersebut. Dan kebanyakan dari para buruh migran ini memang datang ke negara tujuan untuk menjadi pembantu rumah tangga yang berarti mereka harus berada di ruang privat bukan ruang publik. Karena berada diruang privat sang majikan, mereka cenderung rentan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh sang majikan.
Negara, yang seharusnya sangat bertanggung jawab atas buruh migran ini tidak mampu memberikan perangkat hukum yang kuat yang dapat melindungi hak-hak pekerja migran baik selama masih di Indonesia maupun di negara penerima. Terlihat jelas dengan tidak adanya usaha-usaha pemerintah dalam melakukan perjanjian bilateral dengan negara tujuan dalam hal melindungi hak-hak buruh. Disana pula terlihat possisi tawar Indonesia dihadapan negara lain sangat lemah. Disamping, konvensi internasional tidak begitu ampuh mengatur permasalah buruh migran, tampak dari tidak adanya usaha-usaha mengatur permasalahn tenaga kerja ditigkat internasional seperti di PBB, membuat pemerintah harus bekerja keras menjalankan kewajiban konstitusionalnya yaitu mengakomodasi rakyat dimanapun mereka berada.
Dengan melihat begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh para tenaga kerja Indonesia ini, pemerintah harus mampu menjalankan kewajibannya terhadap rakyat khusunya buruh migran yang sudah banyak membantu negara dengan sumbangan devisanya. Pertama, pemerintah memperketat pengawasan terhadap perusahaan penyalur tenaga kerja agar penyelewengan dapat dikurangi seminimal mungkin. Pemerintah dapat membuat undang-undang yang benar-benar melindungi hak-hak buruh serta mensosialisasikannya terhadap masyarakat luas khusunya para calon tenaga kerja dan para agen penyalur. Jika ada pihak yang tidak mentaatinya maka pemeritah harus menindak tegas para pelaku agar pelanggaran-pelanggaran semacam itu tidak meluas dan berlanjut. Kedua, pembekalan berupa training-training dan semacamnya terhadap calon tenaga kerja tetap intens dilakukan bekerja sama dengan perusahaan penyalur. Ketiga, pengawasan terhadap tenaga kerja harus tetap berjalan dari semenjak mereka diberangkatkan sampai mereka kembali lagi ke tanah air. Dalam hal ini kedutaan-keduataan di negara tujuan harus proaktif memberikan akomodasi terhadap tenaga kerja Indonesia bekerja sama dengan Deplu dan Depnaketrans. Keempat, pemerintah harus bekerja sama dengan pemerintah negara tujuan para buruh migran. Kesepakatan-kesepakat yang bersifat mengikat harus digalakkan dengan pemerintah negara tujuan melalui kerjasama bilateral. Kesepakatan-kesepakatan ini harus mampu menyentuh hak-hak dasar para tenaga kerja sebagai manusia, bukan sebagai budak yang bebas diperdagangkan dan tenaganya dimanfaatkan sesuka hati.
Akhirnya, ketika pemerintah sudah menganugrahi para tenaga kerja Indonesia sebagai pahlawan devisa, maka memberikan “penghargaan” kepada para pahlawan ini adalah sebuah konsekuensi logis yag harus diambil oleh pemerintah. Pengahargaan berupa perlindungan hak-hak para buruh migran sebagi pihak yang bejasa bagi negara dan keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar