Senin, 07 Juni 2010

Jakarta - Rencana pemerintah melarang sepeda motor memakai bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, premium terus mendapat kecaman. Rencana itu dinilai keputusan sepihak yang merugikan mayoritas masyarakat pengguna sepeda motor.

Di tengah kerumitan dan karut-marutnya sarana transportasi massal di daerah perkotaan, yang disebabkan karena tidak layaknya kondisi angkutan umum, kebijakan tersebut mencerminkan sikap otoriter pemerintah yang enggan mencari solusi dan hanya
mengambil jalan pintas tercepat yang tidak tepat.

"Kebijakan tersebut mencerminkan pemerintah yang otoriter, seharusnya pemerintah mau menyerap aspirasi dan melibatkan masyarakat sebelum mengeluarkan kebijakan," tutur Ketua Road Safety Association (RSA) Rio Octaviano, dalam surat elektronik yang diterima detikOto, Jumat (28/5/2010).

Fakta saat ini, mayoritas transportasi umum massal belum sepenuhnya aman, nyaman, dan terjangkau masyarakat.

Buntutnya, masyarakat berinisiatif memilih sepeda motor sebagai sarana mencari nafkah sehari-hari. Padahal di negara-negara maju, sepeda motor adalah kendaraan rekreasi dengan izin berkendara yang proses kepemilikannya tidak mudah.

"Pemerintah tidak bijaksana dengan serta-merta menghukum masyarakat yang berinisiatif membeli sepeda motor karena transportasi massal yang tidak layak. Pemerintah harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

saat ini, jika rata-rata pengguna sepeda motor menggunakan BBM premium sebanyak 6 liter per minggu, berarti pengeluarannya mencapai Rp 27.000, namun jika harus beralih ke BBM non subsidi yakni Pertamax, pengeluaran per minggunya menjadi Rp 41.700. "Itu sama dengan terjadi kenaikan biaya bahan bakar sekitar 54,4%," tegas Rio lagi.

RSA mendesak agar pemerintah fokus mencari solusi pekerjaan rumahnya yang terbengkalai yaitu meningkatkan kualitas transportasi umum massal yang aman, nyaman, dan terjangkau.

Menurut hemat saya, perwujudan sistem transportasi yang seperti itu saat ini sudah amat mendesak.