Sebuah wacana yang tidak habis-habisnya dibicarakan, kemiskinan. Kemiskinan menjadi momok menakutakan para negarawan, pemikir hingga aktivis akar rumput. Walaupun kemiskinan itu sendiri bukan hal baru di dunia ini. Ditengah derasnya modernisasi teknologi, ideologi, sistem ekonomi dan politik ternyata tidak serta merta menghilangkan penyakit kronis yang bernama kemiskinan. Kemiskinan tidak timbul dengan sendirinya tanpa variabel yang berkaitan dan mempengaruhinya. Ada asap pasti ada api. Begitu juga kemiskinan, di mana kita harus bersama-sama mencari penyebab kemiskinan struktural dengan melihat variabel-variabel yang mempengaruhinya.
Pesatnya pertumbuhan industrialisasi di berbagai sektor, secara akal sehat seharusnya mampu mengangkat perekonomian rakyat sehingga eksesnya adalah kemakmuran. Akan tetapi alih-alih menjadi sejahtera, pertumbuhan angka kemiskinan meningkat pesat. Busung lapar dimanan-mana. Putus sekolah menjadi sarapan pagi. Pengemis, anak jalanan hingga gelandangan menjadi secercah sisipan di pemandangan kota. Semua itu menjadi sebuah keseharian bangsa yang dalam konsitusinya jelas-jelas menetapkan orang-orang miskin dan anak jalanan menjadi tanggungan negara.
Mungki negara bisa berbangga dengan menunjukan angka-angka statistik yang mengindikasikan penurunan angka kemiskinan tiap tahunnya. Tapi perlu diketahui, kemiskian tidak bisa hanya berkutat disekitar statistik GDP yang sangat rigid. Kehidupan manusia yang menyangkut hidup-mati serta masa depan seseorang hanya di ukur melalui statistik yang tidak mungkin bisa mengikuti fluktuasi angka kemiskinanan di Indonesia. Sebab kemiskinan vis versa, bukan hal yang tetap. Tapi menjadi sanagat fluktuatif dalam ukuran hari. Ditengah keadaaan ekonomi yang sanagt tidak menentu seperti sekarang ini hal semacam itu sangat mungkin terjadi.
Namun, pemerintah dalam hal ini harus mampu menyentuh aspek-aspek sosiologis maupun antroplogis, bukan matematis. Pemerintah harus memulai dengan pendekatan struktural dalam hal pengentasan kemiskinan. Bukan sebaliknya menciptakan kemiskinan struktural. Pendekatan dengan melihat strata sosial yang berlaku di masyarakat tertentu bisa dilakukan oleh pemerintah. Tentunya pendekatan di satu daerah yang sangat kuat menonjolkan status soial akan berbeda dengan pendekatan yang harus dilakukan pada daerah urban atau sub-urban yang memang disekelilingnya sudah tersentuh arus modernitas.
Dikalanghan masyarakat yang sangat kental akan pola struktur sosial top-down yang tradisional, yang mana strata sosial paling bawah akan cenderung berkubang dengan masalah kemiskinan, dapat dilakukan dengan pendampingan keluarga miskin agar mereka dapat tersugesti bahwasanya kemiskinan bukan nasib yang harus diterima sampai mati. Memberikan akses usaha atau kolempencapir yang pernah sukes di zaman orde baru, bisa menjadi alternatif pada masyarakat model ini.
Sebaliknya, pada msyarakat urban atau sub-urban, pemerintah bisa memberi penyuluhan, akses terhadap fasilitas disekelilingnya yang memang sangat jarang mereka nikmati seperti sekolah gratis atau menyediakan tempat usaha yang reperesentatif tanpa harus takut digusur oleh pemerintah sendiri. Pemerintah juga harus memberi mereka kesempatan menikmati derasnya modernitas yang sedang booming disekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar