Praktis bulan-bulan ini para orang tua sangat sibuk dan tentunya banyak pikiran. Betapa tidak, hari-hari yang semestinya diisi dengan rekreasi atau bersantai bersama keluarga disebabkan liburan panjang tapi malah sebaliknya. Para orang tua dipusingkan dengan berbagai masalah menyangkut pendidikan anak mereka. Karena menjelang tahun ajaran baru, para orang tua mempersiapkan anaknya guna melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah berkutat dengan masalah kebutuhan buku baru bagi si anak, para orang tua berhadapan dengan sekolah yang kadang suka seenaknya memungut biaya segala macam kepada calaon sisiwa. Otomatis orang tua semakin terbebani dengan hal ini. Padahal pemerintah sudah membebaskan segala macam biaya bagi calon siswa. Namun masih saja ada sekolah yang tetap bandel memungut biaya sana-sini dengan berbagai alalsan.
Dengan banyaknya kasus pungutan liar di sekolah-sekolah menambah panjang deretan cerita carut-marut dunia pendidikan di Indonesia. Untuk kesekian kalinya wajah pendidikan kita dibuat bopeng oleh para oknum sekolah yang tidak bertanggung jawab. Logikanya, jika sekolah yang nota bene adalah tempat para generasi muda ditempa sudah tidak steril dengan tindakan-tindakan tidak terpuji para oknum, maka jangan salahkan siapa-siapa jika hasil didikannya juga tidak jauh dari tempat ia dididik (sekolah). Virus-virus seperti pungutan liar di sekolah harus segera diberantas jika kita ingin melihat pendidikan di Indonesia ini mampu menjadi alat pembebasan; pembebasan dari kebodohan dan kemiskinan akal budi.
Dalam dunia yang matrealistik seperti sekarang ini, logika materi (uang) menjadi tolak ukur. Tak terkecuali dunia pendidikan. Kondisi seperti ini menjadikan, seperti yang diutarakan oleh Yasraf A. Piliang(2004), logika pendidikan bertaut dengan logika kapitalisme. Hingga kemudian pendidikan menjelma menjadi mesin kapitalisme, yaitu mesin untuk mencari keuntungan. Pola pikir seperti inilah yang harus kita hilangkan dari para penyelenggara pendidikan. Jika pendidikan sudah dimaknai sebagai transaksi layaknya jual beli (ada barang ada uang), maka pendidikan semacam ini hanya mampu dinikmati oleh segelintir orang yang berduit tebal. Ditambah lagi pendidkan itu sendiri sudah kehilangan ruhnya sebagai alat pembebasan.
Pemerintah dalam hal ini tidak hanya sebatas memberi himbauan kepada pihak sekolah agar tidak melakukan pungutan liar. Karena betapaun, hal-hal yang menyangkut dengan pendidikan harus dijaga dan diawasi dengan ketat. Oknum sekolah yang nakal harus ditindak dengan tegas, bila perlu pihak yang terkait meliputi kepala sekolah hingga bagian administrasi dipecat. Pemerintah juga harus mampu mensosialisasikan segala kebijakan termasuk ditiadakannya pungutan bagi siswa-siswa baru kepada para masyarakat khususnya orang tua yang akan memasukkan anaknya ke sekolah. Diharapkan para orang tua juga jangan segan-segan untuk melapor ke dinas terkait guna memberantas pungutan-pungutan liar yang sering terjadi menjelang tahun ajaran baru.
Tentunya semua upaya dari segenap pihak yang masih ingin melihat pendidikan kita tetap eksis dengan nilai-nilai luhurnya, harus benar-benar tepat sasaran, yaitu menata sistem birokrasi pendidikan kita. Kesadaran akan sebuah pendidikan yang bermutu tanpa harus, disisi lain, memberatkan masyarakat dengan berbagai biaya yang hanya membuat suram pendidikan kita. Kalau bukan sekarang kita membenahi birokrasi pendidikan di Indonesia, lalu sampai kapan kita bertahan dengan kebobrokan ini?
0 komentar:
Posting Komentar