Perusahaan pers wajib menyediakan peralatan dan keahlian keselamatan untuk para wartawannya. Sementara wartawan membutuhkan kesadaran untuk mematuhi standar keselamatan yang telah ditetapkan oleh perusahaannya maupun pihak lain.
Saat ini hanya sedikit perusahaan pers yang peduli dengan kebutuhan pelatihan keselamatan bagi wartawan ketika meliput di daerah berbahaya seperti konflik, bencana atau musibah. Padahal perusahaan pers wajib memenuhinya dan wartawan memiliki hak untuk mendapatkannya, khususnya untuk wartawan yang ditugaskan meliput di daerah berbahaya.
Berbagai musibah yang dialami masyarakat Indonesia belakangan ini juga menuntut agar wartawan memerhatikan soal etika pemberitaan. Sebab sering pers tidak peduli dengan privasi korban bencana saat wartawan melakukan peliputan maupun ketika berita disampaikan. Persaingan antarperusahaan pers dan kebutuhan mendapat berita eksklusif menyebabkan etika pemberitaan sering dilanggar.
Wartawan banyak yang tidak tahu hak-haknya ketika dikirim meliput ke daerah berbahaya, seperti daerah konflik dan bencana. Sementara hanya sedikit perusahaan pers yang peduli dengan kebutuhan pelatihan bagi wartawannya.
Padahal keselamatan wartawan, ketika meliput di daerah berbahaya, harus diutamakan agar informasi yang didapat wartawan tersampaikan ke masyarakat. Keinginan wartawan untuk mendapatkan berita tidak bisa disalahkan. Namun yang terpenting wartawannya siap untuk hidup, bukan siap untuk mati.
Tragedi tenggelamnya Kapal Penyebrangan Levina I yang menewaskan dua wartawan televisi, Suherman (juru kamera Lativi) dan Muhammad Guntur Syaifullah (juru kamera SCTV), hendaknya menjadi momen agar masyarakat pers peduli dengan keselamatan wartawan dan memperbaiki kekurangan yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar